Jumat, 10 Desember 2010

MA'RIFAT, ORANG YANG BERIMAN DAN HAKEKATNYA

Untuk menuju status orang-orang beriman harus
melalui tahapan Ma rifat
Adapun iman yang ditasdiq di hati, tidak bisa tasdiq
kalau tidak mengenal Allah..
tasdiq adalah adalah hasil dari pada pengenalan/
Ma rifat, akan mustahil bisa tasdiq di hati kalau belum
kenal / sama dengan
Menasdigkan buah simala kama yaitu hayal / palsu
angan-angan. Koreksilah pengenalan.
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya
tentang ma ’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang
lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan
Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala
kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha
(kasab) seorang hamba. ”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah
– ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia
menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak
terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan
menjadi jernih karenanya. ”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu
ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun
ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui)
Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat
yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan
ma ’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana.
Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah
(Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya,
dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya.
Karena Allah telah berfirman:
“ Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi
(memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha:
110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah –
menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju
ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki.
Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu
bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk
tahu dan ma ’rifat secara hakiki tidak akan mampu
dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom
pun dari ma ’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh
makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di
dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal
apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya.
Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat
Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia
yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang
sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab
Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah)
tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt.
berfirman:
“ Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-
Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat
Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali
dengan menjadikan seseorang tidak sanggup
mengetahui-Nya. ”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan
seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak,
dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi
telah fana ’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi
hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya
adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah
melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang
Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah
berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari
ma ’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang
yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah –
pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia
menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh
warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu
anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih
maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika
Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam,
maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan
demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat
yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu
diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang
mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat
Yang memiliki dan menguasainya. ”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah –
menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu
– bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat
bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang
ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang
ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah
kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang
melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna
putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat
tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya.
Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika
“ bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang
diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati
nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang
rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia
menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat
yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat.
Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani
untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang
diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-
Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa
kebutuhan orang-orang arif kepada Allah ?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah
perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi –
rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak
membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa
pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka
telah memperoleh apa yang semestinya mereka
peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang
arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka,
kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang
mewujudkannya.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ”
Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral
(akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa
sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka
segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak
itu adalah istiqamah. ”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat
orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di
kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan
mereka. ”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang
yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba
yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia
terpisah dengan mereka. ”
Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya,
“Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal,
sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan
akal ”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas
bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau
bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa
memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan
cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa
membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat
Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau
bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap
Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri.
Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan
mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut
Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak
mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang
terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama
dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada
hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana
antara keduanya tidak ada pembatas apa pun.
Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga
Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian
pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia
menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan
Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan
melihat penghambaan (’ubudiyyah). Sebab orang yang
mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia
tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab
penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-
Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara
langsung adalah menampakkan kehormatan, dan
sama sekali tidak ada kerendahan. ”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan
ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,”
ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani
akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang
gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah –
melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang
diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu –
bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu
tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang
telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada
apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat
menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu
sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang
dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi
makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam
masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha),
yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah
satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang
Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah
mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat.
Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar
al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan
Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek
itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya
(tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala
Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya
karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai
Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang
selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya
berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang
berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang
ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak
bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar
terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti
tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan
kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya
lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian
serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal
(yang hanya merupakan simbolis semata, pent.). ”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh
Ahmad bin Atha ’ maknanya mendekati dengan apa
yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin
Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata,
“Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba
itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci.
Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum,
kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang
berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang
diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada
sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka
orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-
orang yang dibenci-Nya. ”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala
sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek
hanya karena tertutupi hijab-Nya. ” Maksudnya adalah
karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara
ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang
dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap
(Tajalli)-Nya. ” Maksudnya adalah karena Dia
menyambut dan menerimanya.
Makna semua itu adalah sebagaimana yang
diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di
tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan
sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan
sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab
catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-
nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.
Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni
neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta
nama bapak-bapak mereka. ” (H.r. Tirmidzi dari
Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih
Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu
Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah –
mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia
berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna,
sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan
menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi
saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada
mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu. ”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah
komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah
Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang
menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia
ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang
disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan
dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar