Rabu, 15 Desember 2010

LEGENDA HARI ASYURA DAN MITOSNYA

Assalamualaikum wr. Wb.


Meski demikian banyak legenda dari salah
pengertian yang terjadi di kalangan umat Islam
menyangkut hari 'Asyura, meskipun tidak ada
sumber otentiknya dalam Islam. Beberapa hal
yang masih menjadi keyakinan di kalangan
umat Islam adalah legenda bahwa pada
hari'Asyura Nabi Adam diciptakan, pada hari
'Asyura Nabi Ibrahim dilahirkan, pada hari
'Asyura Allah Swt menerima tobat Nabi
Ibrahim, pada hari 'Asyura Kiamat akan terjadi
dan siapa yang mandi pada
hari 'Asyura diyakini tidak akan mudah terkena
penyakit.

Semua legenda itu sama sekali tidak
ada dasarnya dalam Islam. Begitu juga dengan
keyakinan bahwa disunnahkan bagi mereka
untuk menyiapkan makanan khusus untuk hari
'Asyura.

Sejumlah umat Islam mengaitkan kesucian hari
'Asyura dengan kematian cucu Nabi Muhmmad
Saw, Husain saat berperang melawan tentara
Suriah. Kematian Husain memang salah satu
peristiwa tragis dalam sejarah Islam. Namun
kesucian hari 'Asyura tidak bisa dikaitkan
dengan
peristiwa ini dengan alasan yang sederhana
bahwa kesucian hari 'Asyura sudah ditegakkan
sejak zaman Nabi Muhammad Saw jauh
sebelum kelahiran Sayidina Husain.

Sebaliknya,
adalah kemuliaan bagi Husain yang
kematiannya dalam pertempuran itu bersamaan
dengan
hari 'Asyura.
Anggapan-anggapan yang salah lainnya tentang
bulan Muharram adalah kepercayaan bahwa
bulan Muharram adalah bulan yang tidak
membawa keberuntungan, karena Husain
terbunuh pada bulan itu. Akibat adanya
anggapan yang salah ini, banyak umat Islam
yang tidak melaksanakan pernikahan pada bulan
Muharram dan melakukan upacara khusus
sebagai
tanda ikut berduka atas tewasnya Husain dalam
peperangan di Karbala, apalagi disertai dengan
ritual merobek-robek baju atau memukuli dada
sendiri.


Nabi Muhammad sangat melarang umatnya
melakukan upacara duka karena meninggalnya
seseorang dengan cara seperti itu, karena
tindakan itu adalah warisan orang-orang pada
zaman jahiliyah.
Rasulullah bersabda, "Bukanlah termasuk
umatku yang memukuli dadanya, merobek
bajunya dan menangis seperti orang-orang
pada zaman jahiliyah."

Berkaitan dengan hari Asyura, bulan muharam adalah bulan pengampunan.
Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Kata Muharram artinya 'dilarang'. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram sudah dikenal sebagai bulan suci dan pada bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan pertumpahan darah.

Sekian penjelasan saya. Jika ada yang tidak berkenan di hati saudara sekalian mohon tambahannya.
Wassalamualaikum.

kEUTAMAAN BULAN MUHARAM

((Muharram)) adalah bulan di mana umat Islam mengawali tahun kalender Hijriah berdasarkan peredaran bulan. Muharram menjadi salah satu dari empat bulan suci yang tersebut dalam Al- Quran. "Jumlah bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, tersebut dalam Kitab Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi.

Di antara kedua belas bulan itu ada empat bulan yang disucikan." Keempat bulan itu adalah, Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Semua ahli tafsir Al-Quran sepakat dengan hal ini karena Rasululullah Saw dalam haji kesempatan haji terakhirnya mendeklarasikan, "Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, empat di antaranya adalah bulan suci. Tiga di antaranya berurutan yaitu Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan ke empat adalah bulan Rajab."

Selain keempat bulan khusus itu, bukan berarti bulan-bulan lainnya tidak memiliki keutamaan, karena masih ada bulan Ramadhan yang diakui sebagai bulan paling suci dalam satu satu tahun. Keempat bulan tersebut secara khusus disebut bulan-bulan yang disucikan karena ada alasan-alasan khusus pula, bahkan para penganut paganisme di Makkah mengakui keempat bulan tersebut disucikan. Pada dasarnya setiap bulan adalah sama satu dengan yang lainnya dan tidak ada perbedaan dalam kesuciannya dibandingkan dengan bulan- bulan lain. Ketika Allah Swt memilih bulan khusus untuk menurunkan rahmatnya, maka Allah Swt lah yang memiliki kebesaran itu atas kehendakNya.

Keutamaan Bulan Muharram Nabi Muhammad Saw bersabda, "Ibadah puasa yang paling baik setelah puasa Ramadan adalah berpuasa di bulan Muharram." Meski puasa di bulan Muharram bukan puasa wajib, tapi mereka yang berpuasa pada bulan Muharram akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah Swt. Khususnya pada tanggal 10 Muharram yang dikenal dengan hari 'Asyura.

Ibnu Abbas mengatakan, ketika Nabi Muhammad Saw hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau menjumpai orang-orang Yahudi di Madinah biasa berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Menurut orang-orang Yahudi itu, tanggal 10 Muharram bertepatan dengan hari ketika Nabi Musa dan pengikutnya diselamatkan dari kejaran bala tentara Firaun dengan melewati Laut Merah, sementara Firaun dan tentaranya tewas tenggelam.

Mendengar hal ini, Nabi Muhammad Saw mengatakan, "Kami lebih dekat hubungannya dengan Musa daripada kalian" dan langsung menyarankan agar umat Islam berpuasa pada hari 'Asyura. Bahkan dalam sejumlah tradisi umat Islam, pada awalnya berpuasa pada hari 'Asyura diwajibkan. Kemudian, puasa bulan Ramadhan- lah yang diwajibkan sementara puasa pada hari 'Asyura disunahkan. Dikisahkan bahwa Aisyah mengatakan, "Ketika Rasullullah tiba di Madinah, ia berpuasa pada hari 'Asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Tapi ketika puasa bulan Ramadhan menjadi puasa wajib, kewajiban berpuasa itu dibatasi pada bulan Ramadhan saja dan kewajiban puasa pada hari 'Asyura dihilangkan. Umat Islam boleh berpuasa pada hari itu jika dia mau atau boleh juga tidak berpuasa, jika ia mau." Namun, Rasulullah Saw biasa berpuasa pada hari 'Asyura bahkan setelah melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan. Abdullah Ibn Mas'ud mengatakan, "Nabi Muhammad lebih memilih berpuasa pada hari 'Asyura dibandingkan hari lainnya dan lebih memilih berpuasa Ramadhan dibandingkan puasa 'Asyura." (HR Bukhari dan Muslim). Pendek kata, disebutkan dalam sejumlah hadist bahwa puasa di hari 'Asyura hukumnya sunnah.

Beberapa hadits menyarankan agar puasa hari 'Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari 'Asyura. Alasannya, seperti diungkapkan oleh Nabi Muhammad Saw, orang Yahudi hanya berpuasa pada hari 'Asyura saja dan Rasulullah ingin membedakan puasa umat Islam dengan puasa orang Yahudi. Oleh sebab itu ia menyarankan umat Islam berpuasa pada hari 'Asyura ditambah puasa satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya (tanggal 9 dan 10 Muharram atau tanggal 10 dan 11 Muharram).

Selain berpuasa, umat Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih banyak makanan untuk keluarganya pada 10 Muharram. Tradisi ini memang tidak disebutkan dalam hadist, namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa hal itu boleh dilakukan.

Jumat, 10 Desember 2010

MA'RIFAT, ORANG YANG BERIMAN DAN HAKEKATNYA

Untuk menuju status orang-orang beriman harus
melalui tahapan Ma rifat
Adapun iman yang ditasdiq di hati, tidak bisa tasdiq
kalau tidak mengenal Allah..
tasdiq adalah adalah hasil dari pada pengenalan/
Ma rifat, akan mustahil bisa tasdiq di hati kalau belum
kenal / sama dengan
Menasdigkan buah simala kama yaitu hayal / palsu
angan-angan. Koreksilah pengenalan.
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya
tentang ma ’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang
lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan
Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala
kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha
(kasab) seorang hamba. ”
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah
– ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia
menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak
terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan
menjadi jernih karenanya. ”
Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu
ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun
ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui)
Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat
yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan
ma ’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana.
Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah
(Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya,
dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya.
Karena Allah telah berfirman:
“ Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi
(memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha:
110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah –
menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju
ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki.
Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu
bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk
tahu dan ma ’rifat secara hakiki tidak akan mampu
dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom
pun dari ma ’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh
makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di
dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal
apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya.
Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat
Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia
yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang
sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab
Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah)
tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt.
berfirman:
“ Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-
Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat
Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali
dengan menjadikan seseorang tidak sanggup
mengetahui-Nya. ”
Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan
seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak,
dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi
telah fana ’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi
hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya
adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah
melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang
Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah
berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari
ma ’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang
yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah –
pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia
menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh
warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu
anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih
maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika
Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam,
maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan
demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat
yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu
diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang
mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat
Yang memiliki dan menguasainya. ”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah –
menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu
– bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat
bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang
ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang
ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah
kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang
melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna
putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat
tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya.
Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika
“ bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang
diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati
nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.
Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang
rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia
menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat
yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat.
Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani
untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang
diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-
Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa
kebutuhan orang-orang arif kepada Allah ?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah
perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi –
rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak
membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa
pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka
telah memperoleh apa yang semestinya mereka
peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang
arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka,
kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang
mewujudkannya.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ”
Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral
(akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa
sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka
segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak
itu adalah istiqamah. ”
Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat
orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di
kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan
mereka. ”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang
yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba
yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia
terpisah dengan mereka. ”
Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya,
“Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal,
sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan
akal ”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas
bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau
bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa
memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan
cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa
membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat
Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau
bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap
Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri.
Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan
mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut
Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak
mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang
terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama
dan mana yang terakhir.”
Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada
hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana
antara keduanya tidak ada pembatas apa pun.
Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga
Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian
pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia
menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan
Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan
melihat penghambaan (’ubudiyyah). Sebab orang yang
mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia
tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab
penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-
Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara
langsung adalah menampakkan kehormatan, dan
sama sekali tidak ada kerendahan. ”
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan
ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,”
ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani
akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang
gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah –
melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang
diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu –
bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu
tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang
telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi.
Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada
apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat
menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu
sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang
dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi
makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam
masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha),
yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah
satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang
Mahatahu-.
Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah
mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat.
Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar
al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan
Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek
itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya
(tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala
Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya
karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai
Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang
selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya
berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang
berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang
ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak
bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar
terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti
tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan
kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya
lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian
serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal
(yang hanya merupakan simbolis semata, pent.). ”
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh
Ahmad bin Atha ’ maknanya mendekati dengan apa
yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin
Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata,
“Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba
itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci.
Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum,
kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang
berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang
diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada
sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka
orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-
orang yang dibenci-Nya. ”
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala
sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek
hanya karena tertutupi hijab-Nya. ” Maksudnya adalah
karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara
ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang
dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap
(Tajalli)-Nya. ” Maksudnya adalah karena Dia
menyambut dan menerimanya.
Makna semua itu adalah sebagaimana yang
diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di
tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan
sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan
sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab
catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-
nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.
Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni
neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta
nama bapak-bapak mereka. ” (H.r. Tirmidzi dari
Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih
Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu
Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah –
mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia
berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna,
sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan
menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi
saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada
mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu. ”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah
komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah
Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang
menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia
ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang
disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan
dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah ..

MENGAPA SHALAT MENGHADAP KA'BAH

Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat
(peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian
pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang)
demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. ( QS. Al-Maidah (5) : 97 )
Adalah rekomendasi dari Allah yang tidak bisa di ubah lagi.
Walaupun menurut sejarah pernah terjadi pengalihan kiblat
sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qurthubi, ketika shalat telah
diwajibkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang-orang
mukmin. Semula arah Kiblat sama seperti semasa leluhur
beliau, Nabi Ibrahim AS. Setelah hijrah ke Madinah (ada pula
ulama yang mengatakan menjelang hijrah) Allah SWT
memerintahkan agar beliau menghadapkan wajah ke Al-
Quds.
Rasulullah SAW biasa melakukan dengan berdiri
diantara Hajar Aswad dan Rukun Yamani, sehingga Baitullah
dan Baitul-Maqdis, dua-duanya, berada didepan beliau.
Menurut hadits Bukhari, Rasulullah Muhammad SAW
mengerjakan shalat dengan Kiblat Al-Quds selama sekitar 16
atau 17 bulan sewaktu di Madinah. Rasulullah SAW
sepenuhnya berserah diri kepada perintah Allah SWT.
Namun demikian beliau pun berharap bahwa Kiblat
hendaknya sama seperti semasa Nabi Adam AS dan Nabi
Ibrahim AS. Adapun Allah SWT Maha Mengabulkan harapan
insan-insan pilihan-Nya. Oleh karena itu Rasulullah SAW
sangat berharap bahwa keinginan beliau pun dikabulkan
Allah SWT. Berkali-kali Beliau menengadahkan wajah ke
langit, dari hari ke hari, mengharapkan turunnya wahyu
perihal kiblat.
Dan, Allah SWT pun berfirman :
Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan palingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Maka palingkanlah wajahmu kearah
Masjidil Haram. ( QS. Al-Baqarah (2) : 144 )
Dengan diturunkannya wahyu ini, Allah SWT mengabulkan
keinginan Rasulullah SAW. Selanjutnya, perhatikanlah kata
‘syathra’ disini berarti bahwa orang-orang di negara lain
bilamana melaksanakan shalat hendaklah berusaha sebaik-
baiknya untuk menghadapkan wajah ke arah Masjidil Haram,
namun tidak perlu harus persis ke arah bangunan Ka’bah.
Akan tetapi, bagi mereka yang dapat melihat Baitullah wajib
menghadap tepat ke Ka’bah sewaktu mengerjakan shalat.
Penetapan Ka’bah sebagai kiblat, adalah untuk membedakan
antara ummat islam dengan ummat lainnya.
Ka’bah merupakan tempat yang sangat kaya dengan sejarah
sejak zaman nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW.
Dan menurut penelitian ilmiah sekarang, yang menunjukkan
bahwa Ka’bah adalah :
Hasil konferensi itu mengimbau umat Islam sedunia
menjadikan Makkah–Ka’bah berada di 21 derajat 25 menit
lintang utara dan 39 derajat 50 menit bujur timur–sebagai
titik awal perhitungan waktu.
Alasannya sederhana, Makkah, menurut kajian ilmiah, adalah
‘pusat bumi‘.
Di dalam Al-Quran Al-Karim, secara tegas Allah SWT
menetapkan bahwa Ka’bah adalah rumah yang pertama
didirikan di muka bumi untuk menyembah Allah SWT disitu.
Kemudian manusia di seluruh dunia bila hendak
menyembah Allah SWT dengan cara sholat diwajibkan
menghadapkan diri mereka ke arah Ka’bah itu.
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk
manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. ( QS.
Ali Imron (3) : 96 )
Dan dari mana saja kamu , maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah
bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim
diantara mereka. ( QS. Al-Baqarah (2) : 150 )
Sejarah Ka’bah
Sejarah Ka’bah adalah sejarah sebelum peradaban manusia
ini diciptakan Allah SWT dan sebelum mereka turun ke
bumi.
Adalah para malaikat yang diperintahkan Allah SWT
untuk turun ke bumi dan mendirikan Ka ’bah lalu mereka
diperintahkan untuk bertawaf di sekelilingnya. Hingga datang
masa penciptaan Nabi Adam AS dan singkat cerita beliau
diturunkan ke bumi di wilayah yang sekarang bernama
India. Selanjutnya beliau berjalan mencari istrinya Hawa dan
ternyata di sekitar rumah Allah inilah beliau bertemu dan
kemudian tinggal lalu beranak pinak. Rumah Allah (Ka ’bah) ini
menjadi tempat untuk beribadah kepada-Nya sepanjang
masa, baik masa Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS atau nabi-
nabi lainnya.
Arab Jahiliyah Pun Tidak Menyembah Ka’bah
Sejak zaman Nabi Adam AS manusia tahu bahwa Ka’bah
bukanlah berhala yang disembah. Bahkan hingga masa
kehidupan bangsa Quraisy yang terkenal sebagai
penyembah berhala dan telah meletakkan tidak kurang dari
360 berhala di seputar Ka ’bah, mereka pun tidak terpikir
untuk menyembah Ka’bah. Bahkan orang Arab di masa itu
sering membuat tuhan dari makanan seperti roti, kurma dan
apapun yang menurut khayal mereka bisa dianggap menjadi
tuhan. Tapi tidak dengan Ka ’bah, karena dalam keyakinan
mereka Ka’bah memang bukan tuhan atau berhala.
Mereka
hanya melakukan ibadah dan tawaf di sekelilingnya. Ka’bah
bagi para penyembah berhala itu bukanlah berhala yang
disembah, Ka ’bah bagi mereka adalah rumah Allah SWT
untuk melaksanakan ibadah.
Bukti Lain
Hal itu bisa menjadi lebih jelas ketika raja Abrahah dari
Habasyah menyerbu ka ’bah dengan tentara bergajah.
Orang-orang Quraisy saat itu tidak merasa takut Ka’bah
mereka akan hilang, karena dalam diri mereka ada keyakinan
bahwa Ka ’bah itu bukan tuhan, tapi Ka’bah adalah rumah
Allah, tentu saja Sang Pemilik yang akan menjaganya. Abdul
Muttalib justru sibuk mengurus kambing-kambing miliknya
yang dirampas sang raja. Sedangkan masalah Ka ’bah, beliau
yakin sekali pasti ada Yang Menjaganya.
Di dalam Al-Quran Al-Karim, peristiwa itu diabadikan dalam
sebuah surat pendek :

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu
telah bertindak terhadap tentara bergajah ? Bukankah Dia
telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?, dan Dia
mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-
bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah
yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-
daun yang dimakan. ( QS. Al-Fiil (105) : 1-5 )
Niat Jelek Orientalis Plus Keawaman Umat Islam

Jadi hanya kalangan orientalis barat yang bodoh dan kurang
bacaan saja yang dengan pandirnya menafsirkan bahwa
orang arab jahiliyah dulu menyembah Ka ’bah.

Sungguh
sebuah analisa yang menelanjangi kedangkalan ilmu mereka
dan justru menjelaskan bagaimana ketelatan-berpikir mereka
atas kajian yang mereka tulis.
Apalagi bila sampai kepada kesimpulan bahwa orang Islam
menyembah Ka ’bah. Wah, sungguh betul-betul nampak
jelas betapa terkucilnya mereka dari dunia ilmu pengetahuan
dan sejarah.

Sekian wassalam.

Senin, 29 November 2010

APAKAH POLITIK JUGA BERDAMPAK NEGATIF PADA PENDIDIKAN...?

Salah satu pertanyaan yang populer di benak masyarakat tentang politik kini adalah (apa dampak politik bagi pendidikan ?).

Menurut pengalaman yang saya lihat secara nyata dan tanpa meniru kalimat lain adalah : (iya. Politik sangat berdampak pada pendidikan).
Mengapa demikian..?
Hal ini di sebabkan karena para oknum dalam instansi pendidikan ternyata juga banyak yang suka dalam bermain politik. Sayangnya, politik yang di gemari adalah pola politik yang sebenarnya sedikit melenceng.

Saling menjatuhkan dan saling mengincar itu sudah lazim adanya dalam kehidupan pemerintahan di lingkup lingkungan pemerintahan daerah, provinsi bahkan pusat sekalipun. Hal ini yang menyebabkan budaya politik indonesia jauh melenceng dari asas politik yang sebenarnya. Ketidak siapan mengakui kemenangan lawan dan ketidak terimaan dalam mengakui kekalahan sudah menjadi budaya dalam hal ini.

Kemudian satu hal lagi yang sangat memperihatinkan yaitu berdampaknya politik pada bidang Pendidikan. Sangat fatal apabila saya ungkap disini. Maka dari itu, cukup kulitnya saja yang kita kupas.

Pendidikan formal adalah senjata satu-satunya bagi bangsa yang dalam taraf berkembang seperti Indonesia. Sehingga hal itu mudah untuk melahirkan banyak politikus-politikus handal yang pola pikirnya akan lebih mengarah sesuai dengan apa yang di dapatnya di sekolah. Yang baik ya akan baik, dan yang buruk susah akan menjadi baik.

Salah satu hal yang sangat memperihatinkan adalah, ketika pendidikan sudah menjadi ajang permainan oknum para politikus untuk mempertajam taring dan mencari popularitas individual, maka hal-hal lain akan terabaikkan salah satunya adalah proses pengajaran.
Lalu mau dibawa kemana generasi kita sekarang?.
Dampak politik terhadap pendidikan sebenarnya banyak positifnya. Tetapi jika dampak negatifnya lebih berpengaruh, maka akan menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi kita untuk menyuarakan, kemana kita seharusnya mengadu? Karna ini untuk kelanjutan dan masa depan anak anak kita serta nasib bangsa.

Berpikirlah secara dewasa, serta mari kita merenungi siapakah diri kita, dan siapakah yang menjadi seseorang yang menjadi pilihan kita dan mengapa kita mempercayakan sebuah kekuasaan kepada seseorang itu.

Suara hati nurani adalah suara bangsa yang tulus tanpa ada profokasi, dan itulah yang disebut kemenangan mutlak.

PUISI UNTUK AYAH

SAAT UMURKU MASIH TERHITUNG DALAM BILANGAN SATUAN
ENGKAU MENIMANGKU, PENUH RASA SAYANG
HINGGA SUASANAPUN NYATA AKU RASA

SAAT AKU MASIH SERING MEMBUATMU MERASA KESAL DENGAN KENAKALANKU
ENGKAU SABAR DENGAN SEGALA SAYANGMU
HINGGA ENGKAU MERAWATKU SEDEWASA INI

KINI AKU RINDU SUASANA ITU
KADANG AKU BERMIMPI AGAR BERTEMU DAN MEMELUKMU
SUASANA SAAT KAU MENASIHATIKU DENGAN KEBIJAKANMU, AGAR AKU MENJADI ANAK YANG BERGUNA.

AYAH.....
DENGARKAN AKU..
TAK TAHU LAGI HARUS BAGAIMANA KU CORETKAN RINDU INI.
HANYA DO'A YANG TAK PUTUS.....
MENEMBUS LANGIT, DAN KU TITIPKAN SALAM MELALUI RIBUAN MALAIKAT MIMPI
SERTA KU TABURKAN BUNGA DI DEKAT NISAN SETIAP KALI....RINDUKAH KAU DISANA?

DARAHMU YANG MENGALIR...
MENJADIKANKU HIDUP SEDEWASA INI..
AKU BELUM MERASA BERGUNA BAGIMU...
SEBELUM KU BAHAGIAKAN IBU

AYAH....
JIKA KAU SEMPAT BERTEMU DENGAN MALAIKAT MIMPI,
TOLONG TITIPKAN SALAM UNTUKKU
AGAR MALAM INI DIA SAMPAIKAN PADAKU LEWAT MIMPI..

KEBUDAYAAM TRADISIONAL PAPUA DALAM PERSPEKTIF OTONOMI KHUSU

I. PENDAHULUAN

Kecerdasan tntelektual masyarakat papua walaupun mengenyam pendidikan yang layak namun ternyata mampu untuk mengekspresikan karya-karya seni tinggi. Kuitas seni budaya Papua ternyata mempunyai artistik dan estetis tidak lahir begitu saja, namun ada makna yang terkandung dalam karya cipta seni tersebut.

Dalam kondisi sosial budaya yang demikian, hukum yang mengatur dan merupakan corong keadilan juga mencerminkan masa peralihan yang dapat digambarkan sebagai wajah hukum yang berpijak pada dua kaki yang berbeda, yakni satu kaki berpijak pada hukum modern dan satu kaki lagi berpijak pada hukum tradisional.

II. KARYA CIPTA SENIMAN PAPU

Managemen pengolahan karya cipta seni para seniman papua terbilang secara tradisional atau managemen keluarga dalam bentuk sanggar.bentuk Ornamen Papua yang tertuang dalam bentuk karya tekstil (batik papua) ternyata sama dengan karya seni kriya atau ukiran kayu dll. Tidak berdampak ekonomis bagi pemiliknya tetapi menjadi barang komersil. Oleh karena itu perlu di pahami bahwa, masyarakat,birokrasi dan elite politik saat ini telah di kelabuhi dengan kata ''Sofenir''.


III. FUNGSI KESENIAN RAKYAT PAPUA

Pengertian seni yaitu pengungkapan keindahan melalui karya.
Kesenian papua dalam pembahasan ini dibatasi pada aspek kesenian ditinjau dari segi fungsi dan kedudukannya sebagai sarana penunjang kehidupan.
Dalam mewujudkan suatu produksi seni melalui media dimensi seperti membuat atau merancang suatu karya umumnya dapat dilakukan melalui kesepakatan atau kompleksitas (membuat lagu,menyanyi,melukis,ukir, dan menari).

IV. JENIS DAN KLASIFIKASI KESENIAN PAPUA

Berdasarkan ciri, fungsi dan corak penginderaannya, kesenian rakyat papua dapat di bedakan ke dalam 3 kelompok yaitu:

1. Seni Audio yaitu seni berlagu, mengungkapkan mantra-mantra, bahasa dan sastra, musik dari seni suara pada umumnya (Woor, Elege, Bertutur)
2. Seni Visual yaitu seni-seni ukir, pahat, lukis, seni kariya dan kerajinan tangan, termasuk anyam, pintal memintal, dan seni rupa pada umumnya.
3. Seni Gerak meliputi seni tari, teater rakyat dan permainan rakyat pada umumnya.

V. PENUTUP

Seiring dengan perjalanan Otsus Papua yang lahir pada tanggal 21 November 2001 hingga 21 November 2008, ternyata juga membawa dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat asli Papua. Tetapi perjalanan Otsus bagi Provinsi Papua selama 7 tahun itu belum berdampak bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat Papua yang signifikan, kebudayaan Papua belum juga mendpat perlindungan hukum, sehingga benda-benda dan nilai nilai tradisional telah menjadi bahan komersil.